
DK-Karimun Terkait penolakan yang dilakukan sopir angkutan kota (Angkot) atau oplet terhadap keberadaan taksi online di Pulau Karimun, masyarakat Karimun turut memberikan tanggapan.
Penolakan ini kerap memicu ketegangan dan peristiwa bentrok antara sopir oplet dan pengemudi taksi online, bahkan baru-baru ini ada kasus pemukulan yang dilaporkan ke pihak kepolisian.
Pada tahun 2024, penyedia jasa angkutan darat, termasuk taksi pelabuhan, oplet, dan taksi online, sudah dipertemukan dan dimediasi.
Saat itu, pembahasan utamanya adalah mengenai titik penjemputan di Pelabuhan Domestik dan Pelabuhan KPK, serta masalah di RSUD.
Meskipun ada kesepakatan yang dituangkan dalam surat, perjanjian tersebut memiliki masa berlaku yang terbatas, yang akhirnya habis pada Februari 2025.
Sebagai tindak lanjut, pada Maret 2025, para pihak kembali bertemu untuk menyusun kesepakatan baru.
Namun, pihak oplet tidak sepakat dengan kesepakatan tersebut dan memunculkan masalah baru terkait regulasi PM 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus (PASK) khususnya mengenai aturan penjemputan dari pintu ke pintu yang dianggap harus dilakukan di rumah masyarakat, bukan di tepi jalan umum.
Menurut Adrison SH, Kuasa Hukum Maxim, pemahaman ini keliru karena penjemputan di tepi jalan umum bukanlah pelanggaran. Sementara itu, Ernis P. Hutabarat, S.H., M.H., CML menyarankan agar masyarakat yang memutuskan melalui e-voting karena mereka adalah pengguna jasa angkutan yang akan merasakan dampaknya langsung.
E-voting ini dinilai sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan perbedaan pandangan dengan melibatkan masyarakat dalam menentukan keberadaan taksi online di Karimun.
Hasil e-voting pada 26 Maret 2025 menunjukkan bahwa 93 persen masyarakat Karimun mendukung adanya taksi online, sementara hanya sekitar 7 persen yang menentang.