Mengapa Perlunya Revisi UU KPK?

Mengapa Perlunya Revisi UU KPK?

Perlunya revisi Undang-undang KPK.

Muhammad Zulfan Arif

DK-Pekanbaru Seminggu belakangan ini kita dihebohkan dengan adanya perubahan terhadap Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002, yang dianggap oleh sebagian masyarakat perubahan tersebut dapat memperlemah kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi.

Dikutip dari website KPK, terdapat 10 Pasal yang dinilai dapat meghambat KPK dalam pemberantasan korupsi.
1. KPK menjadi lembaga yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
2. Izin kepada Dewan pengawas, ketika hendak melakukan penyadapan.
3. Pembentukan Dewan Pengawas.
4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi.
5. Penuntutan perkara harus koordinasi dengan kejaksaan agung.
6. Perkara yang menjadi perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria.
7. Kewenangan pengambil Alihan perkara dihilangkan.
8. Pengembalian kewenangan seperti pencegahan ke LN, dan kewenangan strategis lainnya dikembalikan ke instansi yg berwenang.
9. Berwenang untuk mengeluarkan SP3.
10. Kewenangan memeriksa LHKPN dikembalikan ke instansi yg berwenang.

KPK

Jika kita lihat dari beberapa poin yang dipersoalkan KPK dalam revisi Undang-undang tersebut, tidak semua mengandung unsur untuk melemahkan KPK. Sehingga penting untuk di ulas, agar kita tidak menjadi korban penggiringan opini yang dilakukan oleh KPK ataupun media masa.

Pertama, perlu kita ketahui bahwa hukum itu bersifat dinamis, dikarenakan kehidupan manusia yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman. Sehingga hukum dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut. Karena sebaik-baiknya hukum ialah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang ada dimasyarakat (Von Savigny).

Undang-undang KPK yang dibentuk pada tahun 2002, saat ini sudah berumur 17 tahun. Seiring berjalannya waktu, telah terjadi banyak perubahan dalam kehidupan, baik itu secara sosial, budaya, dan teknologi, yang turut membawa pemikiran-pemikiran baru dalam penanganan yang lebih efektif dan efisien.

Tujuan awal adanya hukum secara singkat untuk memperoleh keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Ini penting menjadi catatan kita untuk melihat apakah aturan yang dibentuk telah memenuhi aspek-aspek daripada tujuan hukum tersebut atau tidak.

Point yang pertama (1), mengenai kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif. Persoalan ini sebenarnya sudah tuntas sejak lama, bahkan sudah diputus oleh MK bahwasanya KPK adalah lembaga eksekutif. Di revisi UU tersebut, mengenai kedudukan KPK memang dibunyikan secara tegas, agar tidak ada lagi perdebatan mengenai kedudukannya.
Hal ini menjadi kekhawatiran KPK terhadap independensinya. Kekhawatiran ini sesungguhnya bersifat asumsi belaka, karena indepedensi itu persoalan sikap, bukan persoalan kedudukan lembaga. Bahkan pada dasarnya seluruh lembaga yang ada di Indonesia ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya.

Point ke (2), izin penyadapan. Selama ini KPK diberikan kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan.
Pada dasarnya penyadapan adalah suatu hal yang dilarang, karena membuka akses privasi kehidupan seseorang tanpa sepengetahuan orang tersebut. Namun penyadapan dapat dibenarkan untuk alasan tertentu, biasanya penyadapan digunakan untuk penegakan hukum dan keamanan negara. Sehingga dalam pelaksanaannya penyadapan dilakukan secara ketat, dan tidak sembarangan.
KPK selama ini diindikasi malakukan penyadapan tanpa diawali adanya dugaan tindak pidana korupsi, sehingga KPK diduga mencari-cari celah terhadap seseorang yang tidak diindikasi dari awal melakukan korupsi.
Bahkan di revisi Undang-undang KPK yang baru mengatur, jika didapati hal-hal yang tidak berkaitan dengan korupsi selama proses penyadapan, maka KPK diminta untuk segera menghapusnya. Ini penting untuk menjamin kerahasiaan privasi seseorang.

Point yang ke tiga (3), mengenai keberadaan dewan pengawas yang berwenang untuk memberikan izin terhadap penyadapan, penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan oleh KPK. Saya pikir ini penting, karena selama ini tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap KPK, lembaga sebesar KPK dengan kewenangan yang begitu luas, ditambah anggaran yang begitu besar, sangat berpotensi terjadinya penyalah gunaan wewenang.

Selama ini dalam melaksanakan tugasnya KPK hanya diawasi oleh publik,
yang menjadi pertanyaan bagi kita, bentuk Pengawasan seperti apa yang dilakukan oleh publik terhadap KPK? Apakah hanya sekedar opini-opini publik yg dijadikan bentuk pengawasan tersebut? Kalau memang begitu, bisa dikatakatan pengawasan oleh publik itu nol (0). Karena tidak ada dampak secara langsung terhadap lembaga tersebut.

Point ke enam (6) dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, KPK selama ini diberikan kewenangan untuk menindak Para penyelenggara negara, perkara yang menjadi perhatian masyarakat, lalu menindak perkara yang merugikan negara 1M keatas. Namun dalam revisi, perkara yang menjadi perhatian masyarakat dihapuskan. Saya pikir ini termasuk hal yang substansi. Karena selama ini KPK lebih banyak menindak oknum yang menjadi perhatian masyarakat yang rata-rata merugikan negara dalam jumlah yang kecil, hingga KPK melupakan perkara yang merugikan negara dengan nilai 1M keatas. Dengan adanya aturan ini, tindak pidana yang merugikan negara dibawah 1M menjadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan, dan KPK menindak 1M keatas. Ini juga sudah menjawab dari pada point ke tujuh (7), kewenangan KPK dalam pengambil Alihan perkara dari Kepolisian dan Kejaksaan dihapuskan, ini agar tiap tiap lembaga dapat bertanggung jawab atas tugasnya dan bekerja sesuai tupoksi, agar tidak terjadinya tumpang tindih kewenangan.

Point ke sembilan (9) mengenai kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang selama ini tidak dimiliki oleh KPK. Ini termasuk hal yang substansi dalam aspek penegakan hukum khususnya dalam Kepastian hukum. Selama ini dalam penanganannya, KPK dipaksa untuk tetap menjadikan seorang tersangka seumur hidupnya, meskipun tidak ditemukan bukti yang meyakinkan terhadap tersangka. Sehingga kewenangan tersebut dianggap perlu, agar tidak terjadinya kezaliman terhadap seorang tersangka dan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum.

Untuk point 4, 5, 8, 10 itu sebenarnya lebih kepada hal teknis dalam penindakan, dan pengembalian tupoksi kepada instansi yang dari awal sudah berwenang dalam hal tersebut.

Terlepas dari adanya aksi penolakan terhadap revisi Undang-undang KPK, tidak bisa kita pungkiri bahwa ada juga sebagian masyarakat yang setuju dengan perubahan tersebut. Sehingga kita tidak bisa mengklaim seluruh masyarakat Indonesia menolak terjadinya perubahan.(Hs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *