TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PDI Perjuangan dan Partai Gerindra diprediksi lebih berpeluang mendulang perolehan suara legislatif dalam Pemilu 2019.
Hal itu disampaikan Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin kepada Tribunnews.com, Senin (13/8/2018).
“Tak lain agar pada Pemilu legislatif mereka mau memberikan suaranya kepada parpol yang kadernya menjadi capres atau cawapres,” ujar Said.
Sebagaimana diketahui PDI Perjuangan, Golkar, PKB, Partai NasDem, PPP, Partai Hanura, Partai Perindo, dan PSI, mengusung Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Sedangkan Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Berkarya mengusung dan mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Sementara partai politik lain yang ikut mengusung dan mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf dan pasangan Prabowo-Sandi dikatakannya akan berat untuk mendulang suara untuk Pemilu Legislatif.
“Tetapi karena Jokowi, Ma’ruf, Prabowo, dan Sandi bukan kader mereka, maka agak berat mengarahkan pemilih potensial untuk mencoblos partai-partai itu di Pileg,” jelasnya.
Parpol-parpol tersebut, imbuhnya, hampir dipastikan akan kalah bersaing dengan PDI Perjuangan dan Gerindra dalam urusan mengklaim kedekatan dengan para capres-cawapres.
Sebab, kata dia, selama masa kampanye nanti PDI Perjuangan dan Gerindra diduga akan membangun persepsi dimasyarakat bahwa Jokowi adalah PDI Perjuangan dan Prabowo adalah Gerindra.
Sebab itu, menurut dia, kalau partai-partai pengusung dan pendukung yang lain itu terlalu bersemangat mengampanyekan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, muncul kekhawatiran pemilih potensial nantinya justru akan memberikan suara legislatifnya kepada PDI Perjuangan atau Gerindra.
“Jadi, partai-partai pengusung dan pendukung para capres-cawapres selain PDI-Perjuangan dan Gerindra kemungkinan hanya dapat mengandalkan pemilih loyal mereka masing-masing dengan dukungan figur para caleg,” katanya.
Dengan demikian didalam koalisi Pilpres yang dibangun kubu petahana maupun kubu penantang tersimpan potensi masalah terkait soliditas dari parpol-parpol pendukungnya.
Masalah menjadi semakin pelik ketika di dalam koalisi Pilpres antar-parpol dituntut membangun kemitraan, kerjasama, dan mengedepankan semangat kolektivitas.
Tetapi pada saat yang sama mereka justru akan saling bersaing dan menjadi rival untuk kepentingan Pileg.
“Inilah konsekuensi dari sistem Pemilu serentak yang diembel-embeli dengan ketentuan ‘presidential threshold,’ ucapnya.
Parpol menurutnya dipaksa untuk berkoalisi dan terpaksa berperan ganda.
“Sehingga hubungan yang terbangun diantara parpol koalisi adalah sebagai teman di Pilpres, sekaligus menjadi lawan di Pileg,” ucapnya.(Hs)