MerahPutih.Com – Isu ekonomi menjadi kata kunci dalam pertarungan Pilpres 2019. Baik Jokowi maupun Prabowo mendapat tekanan yang sama terkait dengan kebijakan ekonomi.
Meski belum memasuki tahap kampanye pilpres, saat ini pelaku pasar masih menebak-nebak arah kebijakan ekonomi dari paslon Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Alasannya, kebijakan ekonomi paslon penting untuk mengatasi masalah struktural dan fundamental perekonomian dalam negeri.
Siapapun capres-cawapres yang menang, menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, pasangan pemimpin Indonesia lima tahun mendatang kelak harus memiliki tim ekonomi yang kuat.
Jangan sampai permasalahan ekonomi dinomorduakan atau dikesampingkan karena lebih mementingkan permasalahan populis karena ingin merebut simpati rakyat.
“Permasalahan ekonomi saat ini tidak kalah penting dengan persoalan identitas. Pelemahan kurs rupiah, tekanan terhadap daya beli masyarakat, kondisi global yang dinamis, dan lemahnya kinerja ekspor mendesak untuk dicari solusinya,” jelas Bhima di Jakarta, Minggu 12/8).
Calon Petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan partai koalisinya mengesampingkan Mahfud M.D dan akhirnya memilih ulama Ma’ruf Amin, Rais Aam Pengurus Besar Nadhalatul Ulama (PBNU) yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indoensia (MUI), sebagai cawapres.
Sementara itu, mantan petinggi militer Ketua Umum Partai oposisi Gerindra, Prabowo Subianto, kembali mencalonkan diri setelah kalah dalam dua kali Pemilu Presiden. Prabowo memiliih Sandiaga Uno, mantan birokrat yang juga kenyang pengalaman sebagai pengusaha dan bankir investasi, plus pernah menyandang predikat sebagai salah satu dari 50 orang terkaya di Indonesia.
Bhima Yudhistira sebagaimana dilansir Antara menilai pasar masih akan “wait and see” untuk bereaksi hingga pasangan Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno mengungkapkan arah kebijakan ekonominya.
Beberapa masalah ekonomi yang perlu menjadi prioritas pasangan capres-cawapres, lanjut dia, di antaranya adalah, depresiasi nilai tukar rupiah yang sudah mencapai enam persen sejak awal 2018. Pelemahan nilai tukar ini telah berdampak kepada sektor riil, karena beban korporasi untuk belanja impor semakin tinggi, yang pada akhirnya beban itu bisa dikonversikan menjadi biaya yang harus ditanggung konsumen.
Sebagai contoh sederhana, harga telur ayam yang pada Juli 2018 lalu sempat menyentuh Rp30 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp22 ribu per kilogram dikarenakan impor pangan pakan ternak yang mahal.
Belum lagi, tantangan ekonomi global karena ketidakpastian arah kebijakan ekonomi negara-negara maju. Fundamental ekonomi Indonesia yang masih rentan dengan pembalikkan arus modal (capital outflow), dan juga kebutuhan impor yang masih tinggi menjadi pekerjaan rumah capres-cawapres. Kebutuhan impor harus ditekan, sementara kinerja ekspor harus digenjot untuk menambah pendapatan sektor riil.
Kemudian, masalah ketimpangan ekonomi juga perlu menjadi sorotan. Capres dan Cawapres perlu memiliki kebijakan, salah satu sasarannya untuk memperbaiki nilai tukar petani agar penghasilan petani bisa membangun kehidupan yang lebih layak.
Reaksi pasar sejauh ini masih cenderung netral. Jumat (10/8), ketika dua pasangan resmi mendaftarkan diri ke KPU sebagai kontestan Pilpres 2019, kurs rupiah sempat dibuka menguat namun hanya sementara, dan ditutup melemah 41 poin menjadi Rp14.473 dibanding sebelumnya Rp14.432 per dolar AS. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 11,91 poin atau 0,20 persen menjadi 6.077,17.(*)